MATERI ASWAJA KE-NU-AN KELAS 8 SIKAP KEMASYARAKATAN NAHDLATUL ULAMA SMP/MTs
A. Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar
kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya
bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha
mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin,
saling bantu membantu dan keseia-sekataan merupakan prasyarat dari tumbuhnya
persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi
terciptanya tata-kemasyarakatan yang baik dan harmonis. Sikap kemasyarakatan NU
telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984
tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu
Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU, yaitu:
1. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham
keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: alQur`an, as-Sunnah,al-Ijma’,dan
al-Qiyas.
2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari
sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah
Waljama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Mazhab):
a) Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama
mengikuti Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi;
b) Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama
mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) salah satu dari mazhab Abu Hanifah
an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris AsySyafi’I, dan Imam
Ahmad bin Hanbal;
c) Di bidang tasawuf, mengikuti antara
lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam alGhazali serta imam-imam yang lain.
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa
Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan
yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama
bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik
serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak
bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini
menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU
yang bercirikan:
1. Sikap Tawassuth dan I’tidal Sikap
tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan
berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan
sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan
bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh Sikap toleran terhadap
perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang
bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun Sikap seimbang dalam
berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama
manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu,
masa kini, dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Selalu memiliki
kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan
bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.
B. Bentuk-Bentuk Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama
1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Tawasuth ( طسوت ) artinya tengah-tengah maksudnya menempatkan diri di
tengah-tengah antara dua ujung tatharruf (ekstrim) dalam berbagai masalah dan
keadaan untuk mencapai kebenaran, serta menghindari keterlanjuran ke kiri dan
ke kanan secara berlebihan. Sikap tawassud ini harus dibarengi dengan sikap
i`tidal (لادتعا) artinya tegak
terus, maksudnya berlaku adil, tidak berfihak kecuali pada yang benar dan harus
dibela. Warga Nahdlatul Ulama` ( NU) baik secara pribadi maupun secara
berkelompok atas nama organisasi, harus berpegang teguh pada sikap tawassuth
dan i`tidal. Sikap ini harus menyertai sikap langkahnya, dalam menghadapi
segala masalah dan keadaan. NU dan warganya dalam menghadapi suatu masalah ia
harus netral, tidak berfihak pada salah satunya, tidak membenarkan yang satu
dan menyalahkan yang lain, tidak membela yang satu dan mengalahkan yang lain,
tidak condong yang satu dan meninggalkan yang lain.
Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 8 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan( kebenaran ) karena Alloh,menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,mendorong kamu berlaku tidak adil .berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan taqwa dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Allah SWT dalam ayat ini memerintahkan orang-orang mukmin untuk selalu menegakkan kebenaran dengan seadil-adilnya, tidak boleh condong kepada seseorang atau suatu masalah,meskipun dilatar belakangi oleh kebencian atau kecintaan, berlaku adil baik dalam urusan agama maupun hubungan antar manusia adalah merupakan suatubentuk ketaqwaan kepada Allah. Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Ia adalah Maha Waspada, artinya apakah sesorang bersikap adil atau tidak, Alloh pasti mengetahui. Oleh sebab itu tidak bisa seseorang hanya berpura-pura adil.
NU dalam keputusanya organisasi harus benar-benar bersikap tawassuth i`tidal, Umpamanya kita salah satu pemimpin NU mencalonkan diri sebagai kepala daerah, maka harus bersikap netral. Sebagai organisasi, harus mendukung warganya untuk menjadi pemimpin masyarakat, tetapi tetap tidak terlibat dalam masalah politik praktis. Oleh sebab itu, warga NU yang maju dalam pencalonan jabatan publik harus lepas dari kepengurusan Organisasi, dan tetap diberlakukan sebagai warga NU. NU juga tidak mengarahkan warganya untuk mendukung salah satu calon, tetapi harus bisa menjelaskan manfaatmanfaat kepada warga dengan tetap memberi kebebasan warga untuk memilih.
Dalam hubunganya sebagai pribadi-pribadi, warga NU juga harus menjunjung tinggi sikap tawassuth dan I`tidal. Umpamanya seorang siswa yang berteman dengan beberapa temannya, ketika terjadi permasalahan antar teman itu, maka seorang siswa harus adil dan menegakkan kebenaran . tidak boleh langsung membela salah seorang teman dengan menjatuhkan yang lain,karena akan menguntungkan dirinya.Tetapi harus benar-benar tidak memihak, bahkan berusaha menjembatani masalah yang terjadi diantara temannya itu.
Sikap dan perilaku seperti contoh itu harus benar-benar dapat di biasakan, utamanya ketika masih anak-anak.seorang harus berlatih dan membiasakan diri bersikap netral dalam segala hal, dan adil dalam menghadapi masalah.Dengan demikian kelak kita dewasa akan menjadi manusia yang benar – benar mempunyai sikap-sikap yang luhur dan dapat di contoh oleh sitiap orang.dan tentunya akan menempatkan dirinya pada posisi yang terhormat dan dimuliakan orang lain.
2. Tasamuh
Tasamuh( حماست) artinya saling memaafkan. Sikap tasamuh disebut juga sikap toleransi, maksudnya adalah sikap lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain,tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri.seseorang yang bersikap tasamuh harus mempunyai keyakinan bahwa dirinya, apa yang menjadi pendapatnya dan apa yang dilaksanakanya adalah benar, akan tetapi harus mempunyai kesadaran bahwa orang lain yang tidak sama pendirianyan dengan dirinya adalah tidak salah.yang benar adalah tidak hanya dirinya sendiri.
Warga NU baik secara pribadi maupun secara bersama-sama harus memiliki sikap tasamuh. Mereka bersedia untuk berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan dan kebudayaan.mereka tidak boleh memajsakan kehendak pada orang lain. Mereka harus siap pendapatnya tidak di ikuti orang lain, tetapi mereka tidak harus mengikuti pendapat orang lain. Kecuali jika pendapat orang lain itu lebih baik dan lebih benar dari pada pendapat mereka sendiri.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 11:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat ini menjelaskan tentang larangan-laranganAlloh berkaitan dengan hubungan sesama manusia dalam kehidupan sehari hari.larangan tersebut antara lain adalah mengolok-olok, mencela, memanggil dengan sebutan yang buruk, berprasangka jelek, mencari kesalahan orang lain dan menggunjing.larangan-larangan tersebut menandakan, bahwa seseorang hendaknya lapang dada dalam menghadapi orang lain, tidak menganggap orang lain lebih rendah, dan mudah memberikan maaf pada orang lain.
Dalam keyakinan beragama, atau dalam menghadapi agama orang lain Allah berfirman dalam surat Al-Kafirun ayat 1-6 :
1) Katakanlah: "Hai orang-orang
kafir,
2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah.
3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah.
4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah,
5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah.
6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
3. Tawazun
Tawazun menurut bahasa berarti keseimbangan
atau seimbang, sedangkan menurut istilah tawazun merupakan suatu sikap
seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu
persoalan. Meskipun diartikan sebagai suatu keseimbangan atau adil, hal itu
bukan berarti harus menempatkan posisi ditengah-tengah atau jalan tengah,
karena realitanya suatu pertengahan
belum tentu menunjukkan suatu keseimbangan, karena tergantung bobotnya.
Sikap tawazun sangat diperlukan oleh warga
NU ( Nahdlyin ) sebagai insan yang muslim, tujuannya adalah agar tidak
melakukan sesuatu hal yang berlebihan dan mengesampingkan hal-hal yang lain
atau malah melupakannya, padahal hal yang dimaksud itu memiliki hak yang harus
ditunaikan.
Allah SWT menciptakan alam ini dengan keseimbangan dan memerintahkan kita untuk menjaga keseimbangan itu seperti yang termaktup dalam surah Ar-Rahmaan: 7-9 sebagai berikut:
Artinya : ”Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu.”
Tawazun dapat dikelompokkan dalam tiga
aspek, yaitu :
Pertama, Jasmani ( Al Jasad )
Al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), Al-ghidaul jasadi adalah at-tha’am (makanan dan minuman). Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman :
Artainya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 168).
Allah Ta’ala tidak menghendaki manusia
melawan kemanusiannya. Mereka adalah makhluk yang membutuhkan makan dan minum,
dan akan tetap seperti itu karena Allah Ta’ala telah menciptakannya demikian.
Jika manusia kekurangan makan dan minum tentu manusia akan menjadi lemah, dan
hal itu akan mengganggu aktivas kehidupannya, baik yang yang bersifat duniawi
maupun ukhrawi.
Namun, Allah Ta’ala juga tidak menghendaki manusia bersikap israf (berlebihlebihan) dalam makan dan minum, yakni mengambilnya melebihi yang dibutuhkan oleh jasad. Allah Ta’ala memperingatkan hal ini dengan firman-Nya :
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid. Makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.”
Berbuat israf akan merugikan diri sendiri. Jasad menjadi lemah dan sakit, sehingga aktivas kehidupan akan terganggu, baik yang yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Kedua, Akal ( Al-aql )
Al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal). Sedangkan al-ghidaul aqliy adalah al-ilmu. Jika makanan dan minuman dapat menguatkan dan menyehatkan tubuh, maka ilmu dapat menguatkan dan menyehatkan akal, sehingga manusia memiliki keyakinan dan keimanan yang akan meninggikan derajatnya.
Allah Ta’ala berfirman :
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah, 58:11).
Hal yang paling membedakan manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT lainnya adalah dianugerahkannya akal, dengan akal ini manusia seharusnya mampu menilai baik dan buruk sehingga tidak terjerumus kedalam jurang kebatilan, sehingga apabila manusia mampu menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya dan terusmenerus mencari kebenaran, maka derajatnya bisa melebihi para malaikat dan apabila manusia tidak menggunakan akal dan senang jatuh kedalam keterpurukan moral dan sebagainya maka derajatnya menyamai hewan bahkan lebih rendah lagi. Lalu bagaimana cara memenuhi kebutuhan dari potensi ini? jawaban ialah selalu belajar dan menuntut ilmu apapun ilmunya tentu saja ilmu yang positif baik itu berhubungan dengan dunia walaupun dengan akhirat, yang penting dilakukan karena lillahi ta’ala .
Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu mengenal hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya. Agar akal kuat maka ia harus diisi dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk menjaga keseimbangan akal dengan aspek lain, maka seorang mukmin tidak boleh mendewakan akal, tapi akal harus tetap di bawah kendali ruhani yang bersih
Ketiga, Ruh ( Ar-ruh )
Ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani). Al-ghidaur ruh adalah dzikrullah (menyebut dan mengingat Allah). Jasad manusia menjadi ‘tenang’ dengan makanan dan minuman, sedangkan ruhaninya menjadi tenang dengan dzikrullah.
Allah Ta’ala berfirman :
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d, 13:28).
Oleh karena itu Allah Ta’ala pun menyeru orang-orang beriman agar memperbanyak dzikrullah,
sebagaimana dalam firman-Nya :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan sore hari.” (QS. Al-Ahzab,33 :41-42)
Islam mengajarkan keseimbangan antara
ketiganya, makanya Allah mengutus nabi dan rasul dari kalangan manusia, bukan
dari kalangan malaikat, agar bisa kita contoh. Contoh-contoh manusia yang tidak
tawazun:
-
Manusia Atheis (tidak mengakui Allah),
hanya bersandar pada akal (rasio sebagai dasar)
- Manusia
Materialis, yaitu manusia yang hanya mementingkan masalah jasmani / materi
saja)
- Manusia Pantheis (Kebatinan) yaitu manusia yang bersandar pada hati/ batinnya saja.
Berikut contoh-contoh perilaku yang
ditunjukkan para sahabat nabi :
- Umar bin
Khattab seorang Khalifah yang memimpin ummat, namun kehidupannya begitu zuhud.
Perilakunya tegas saat memutuskan sesuatu, tapi di sudut lain ia menangis
khawatir keputusannya keliru.
- Imam Baqiy
bin Mukhalid yang mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam tiga belas rakaat.
Siangnya
sholat sebanyak seratus rakaat, melanggengkan puasa dan dikenal sebagai ahli
hadits. Disisi lain beliau pernah mengikuti peperangan sebanyak 72 kali
Jika kita mampu bersikap tawazun
(seimbang) dalam memenuhi kebutuhan jasad, akal, dan ruh ini, maka akan
terasalah an-ni’mah (kenikmatan) yang yang dzahirah dan bathinah.
Allah Ta’ala berfirman :
Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin…”
(QS. Luqman, 31: 20)
Di dalam Tafsir Al-Baghawiy disebutkan bahwa salah satu makna nikmat yang dzahirah itu adalah tamamur rizq (sempurnanya rizki), sedangkan nikmat yang bathinah adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Dengan demikian diharapkan dengan karakter tawazun ini, warga NU menjadi umat yang mampu berdiri di tengah-tengah, menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akherat.
4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Menurut syari’at, al-Ma’rûf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintah melakukannya, dipuji dan orang yang melakukannya dipuji pula. Segala bentuk ketaatan kepada Allâh masuk dalam pengertian ini. al-Ma’rûf yang paling utama adalah mentauhidkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar adalah sebuah frase dalam bahasa Arab yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Dalil Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah:
Artinya : “Hai anakku, dirikanlah salat
dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Luqman 17]
Jika kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala doa kita. Dalam sebuah hadits : “Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orangorang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka).” (HR. Abu Zar)
Amar Ma'ruf Nahi Munkar dilakukan sesuai kemampuan. Yaitu dengan tangan/kekuasaan jika dia adalah penguasa/punya jabatan. Dengan lisan/tulisan jika dia adalah jurnalis atau intelektual. Atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada. Ini adalah selemah-lemah iman (Hadits).
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu
(mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Dari itu dapat disimpulkan bahwa amar
ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam
mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi : “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak – anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab: “Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Oleh karena itu perlu dipahami dan
diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam membenahi mungkar yaitu:
1) Hilangnya kemungkaran secara total dan
digantikan oleh kebaikan.
2) Berkurangnya kemungkaran, sekalipun
tidak tuntas secara keseluruhan.
3) Digantikan oleh kemungkaran yang
serupa.
4) Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pembina Arus Informasi Santri (AIS) Banten
M Hubab Nafi’ Nu’man Rohmatulloh menjelaskan, sebagaimana dijelaskan Imam
Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin orang yang berhisbah (menjalankan amar
ma’ruf nahi munkar) harus dilandasi dengan tiga hal :
1) Ilmu. Orang yang berhisbah itu tahu
perkara-perkara obyek berhisbah, batas-batas hisbah, beberapa situasi kondisi
dilakukannya hisbah dan beberapa larangan hisbah agar orang tersebut tidak
melanggar ketentuan-ketentuan agama dalam berhisbah.
2) Wara’ atau wira’i (bersikap hati-hati).
Hubab mengatakan, sifat wara’ atau wira’i bisa membuat orang yang berhisbah
terkendali untuk tidak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan ilmunya.
Tidak semua orang yang berilmu itu mengamalkan ilmunya. Bahkan terkadang orang
yang berhisbah itu mengetahui kalau ia melampaui batas-batas hisbah yang
diperbolehkan agama, namun dia sengaja melakukannya hanya untuk mendapatkan
sesuatu keinginannya. Disamping itu, orang yang berhisbah harus memiliki sifat
wara’ agar ucapan dan nasihatnya diterima dan didengar. Mengapa? Kalau
berhisbah tanpa didasari sifat wara’, maka ia akan menjadi bahan tertawaan,
bahkan ditentang.
3) Budi pekerti yang baik. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) harus dibarengi dengan budi pekerti yang bagus, sikap yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Budi pekerti yang baik merupakan inti dari berhisbah.
Lebih dari itu, kelompok atau orang yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar memperoleh penghargaan dan pujian dari Allah SWT sebagai yang terbaik di antara kelompok lainya, sebagaimana firman Allah :
Artinya : ”Kalian adalah umat yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar”, (QS. Ali Imron: 110).
Nah, Nahdlatul Ulama sebagai bagian umat
terbesar di Indonesia berkewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar ini
sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari karena keutamaan-keutamaan sikap
ini, yaitu :
1) Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan
kebaikan bagi masyarakat
2) Menghidupkan hati.
3) Sebagai faktor yang bisa mengundang
pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan dibumi.
4) Amar ma’rûf nahi munkar termasuk
shadaqah.
5) Menolak marabahaya.
6) Orang yang mencegah dari perbuatan
mungkar akan diselamatkan oleh Allâh
7) Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk
sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
8) Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad
yang paling utama.
9) Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab
dosa diampuni.
10) Amar ma’rûf nahi munkar adalah
perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
0 Response to "MATERI ASWAJA KE-NU-AN KELAS 8 SIKAP KEMASYARAKATAN NAHDLATUL ULAMA SMP/MTs "
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak, terima kasih.