Materi Aswaja Ke-NU-an SHOLAT HARI RAYA Kelas 7 SMP/MTs
A. Pengertian, Ketentuan dan Adab Sholat Hari Raya
Ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, seluruh umat Islam yang tidak ada uzur dianjurkan untuk keluar rumah, tak terkecuali perempuan haid. Perempuan yang sedang menstruasi memang dilarang untuk shalat tapi ia dianjurkan turut mengambil keberkahan momen tersebut dan merayakan kebaikan bersama kaum muslimin lainnya. Hukum shalat Id sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan). Sejak disyariatkan pada tahun kedua hijriah, Rasulullah tidak meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa dilanjutkan para sahabat beliau. Secara global syarat dan rukun shalat id tidak berbeda dari shalat lima waktu, termasuk soal hal-hal yang membatalkan. Tapi ada beberapa aktivitas teknis yang agak berbeda dari shalat pada umumnya. Aktivitas teknis tersebut berstatus sunnah.
Related
- LATIHAN SOAL ASESMEN MADRASAH ( AM ) PELAJARAN KE-NU-AN ( ASWAJA ) TAHUN 2023 / 2024
- MATERI ASWAJA KE-NU-AN KELAS 8 SIKAP KEMASYARAKATAN NAHDLATUL ULAMA SMP/MTs
- Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jum'at Kelas 7 SMP/MTs
- Materi Aswaja FAHAM KEAGAMAAN NAHDLATUL ULAMA kelas 7 SMP/MTs
- Sistem Organisasi NU (Nahdlatul Ulama) bag. 2 Kelas 7 SMP/MTs
- Kalender Pendidikan Kemenag dan Dinas Pendidikan Jawa Tengah Tahun 2024 / 2025
- Integrasi Data Simpatika dengan EMIS 2021/2022
- KALDIK JATENG 2021-2022 MI, MTs, MA (KALENDER PENDIDIKAN KEMENAG JATENG)
- Perangkat pembelajaran RPP Bahasa Indonesia tema 1 Kelas 7 Semester 1 SMP/MTs
Waktu shalat Idul Fitri dimulai sejak
matahari terbit hingga masuk waktu dhuhur. Berbeda dari shalat Idul Adha yang
dianjurkan mengawalkan waktu demi memberi kesempatan yang luas kepada
masyarakat yang hendak berkurban selepas rangkaian shalat id, shalat Idul Fitri
disunnahkan memperlambatnya. Hal demikian untuk memberi kesempatan mereka yang
belum berzakat fitrah.
A.Tempat Shalat Hari Raya
Menurut Nahdlatul Ulama, shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di lapangan, tapi di masjid. Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.
“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata:
"Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada
hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat.
Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk
di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau
ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin
memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling...."
(HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah
lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan
meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid
lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.
Namun demikian, menunaikan shalat Id di
masjid lebih utama. Imam As-Syafi'I bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut
mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi
pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid
lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka
tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat
menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar....
karena shalat di masjid lebih utama”
Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz
Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan
seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini
sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan
pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh
kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat
berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka
melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama dari pada di tanah
lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Baca Juga : Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jumat Kelas 7 Semester 2 SMP/MTs
Sebenarnya, melaksanakan shalat Id
hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya
di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di
lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jama’ah. Akan
tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk
serambi dan halamannya) mampu menampung jama’ah.
Fokus utama dalam hukum shalat Id ini
adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan
dan kebersamaan. Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat
adalah untuk :
- menampakkan kemenangan kaum muslimin
- untuk
menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan
- untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya
- untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT
B. Adab Shalat Hari Raya
1) Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan
Bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi
pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i
dan sanadnya shahih)
Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi
hari raya sebelum atau sesudah Subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam
Mazhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.
2) Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya hari ini adalah hari raya
yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan,
hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan
kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)
3) Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibn
Khuzaimah dan kitab shahihnya)
4) Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan Daging Kurban
Dari Buraidah, beliau berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan
ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi,
Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani)
5) Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan
Dari sa’d radliallahu ‘anhu,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan
berjalan. (HR. Ibn majah dan dishahihkan alAlbani)
C.Adab Ketika Menuju Masjid/Lapangan
1) Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan dan
pulang). (HR. Bukhari)
2) Dianjurkan bagi makmum untuk datang lebih awal.
Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak
akhir sampai waktu shalat dimulai. Karena
imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.
3) Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di masjid/lapangan
Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju
lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak
mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:
- Riwayat yang shahih
dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan
al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)
- Riwayat
dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat
shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. alFaryabi Dalam Ahkamul
Idain)
4) Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan:
“Kami bersama Ibnu Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak
kakinya. Maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada
orang yang bertanya: Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar
menunjuk orang itu: Kamu yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari
yang tidak boleh membawa senjata…(HR. Bukhari)
Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka
dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada
musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq)
D.Adab Wanita Haid saat Hari Raya
Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat
menuju masjid/lapangan ketika hari raya dengan memperhatikan adab-adab berikut:
1) Memakai jilbab sempurna (hijab)
Dari Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis
pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul
Adha…. Saya bertanya: Ya Rasulullah, ada yang tidak memiliki jilbab? Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya saudarinya meminjamkan
jilbabnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang mengundang perhatian
Dari zaid bin Kholid Al Juhani radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian melarang para wanita
untuk ke masjid. Dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tafilaat.” (HR.
Ahmad, Abu daud dan dishahihkan al-Albani)
Keterangan: Makna “tafilaat” : tidak
memakai winyak wangi dan tidak menampakkan aurat
3) Tidak boleh bercampur dengan laki-laki
Ummu Athiyah mengatakan:
Hendaknya mereka berjalan di belakang
laki-laki dan bertakbir bersama mereka. (HR. Muslim)
E. Sunah-sunah Ketika di Masjid/Lapangan
1) Mengeraskan bacaan takbir sampai imam datang (mulai shalat)
Dari Nafi’,
Bahwa Ibnu Umar beliau mengeraskan bacaan
takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang.
(HR. ad-Daruquthni dan al Faryabi Dan dishahihkan al-Albani)
2) Tidak ada adzan dan iqamat ketika hendak shalat
Dari Jabir bin samurah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
“Saya shalat hari raya bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa kali, tidak ada adzan dan qamat.” (HR.
Muslim)
3) Tidak ada shalat sunah qabliyah dan ba’diyah di lapangan
Dari Ibn abbas,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju
lapangan ketika Idul Fitri, kemudian shalat dua rakaat. Tidak shalat sunah
sebelum maupun sesudahnya. Dan beliau bersamaBilal.” (HR. Bukhari dan al-baihaqi)
Baca Juga : Materi Aswaja FAHAM KEAGAMAAN NAHDLATUL ULAMA kelas 7 SMP/MTs
Catatan:
1) Dibolehkan untuk melaksanakan shalat
sunah setelah tiba di rumah.
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidakmelaksanakan shalat sunah apapun sebelum
shalat Id. Setelah pulang ke rumah,beliau shalat dua rakaat. (HR. Ibn Majah dan
dishahihkan Al Albnai)
2) Orang yang shalat Id di masjid, tetap
disyariatkan untuk melaksanakan shalat
tahiyatul masjid, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila kalian masuk masjid maka jangan
duduk sampai shalat dua rakaat.”
Demikian penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin
Baz (Shalatul idain karya Sa’id alQohthoani)
B. Tata Cara Shalat Hari Raya
Shalat id dilaksanakan dua rakaat secara
berjama’ah dan terdapat khutbah setelahnya. Namun, bila terlambat datang atau mengalami
halangan lain, boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) di rumah ketimbang
tidak sama sekali.
Berikut tata cara shalat id secara tertib.
Penjelasan ini bisa dijumpai antara lain di kitab Fashalatan karya Syekh KHR
Asnawi, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama asal Kudus; atau al-Fiqh al-Manhajî
‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î (juz I) karya Musthafa al-Khin, Musthafa
al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.
1) Shalat id didahului niat yang jika
dilafalkan akan berbunyi “ushallî rak‘ataini sunnata li ‘îdil fithri/adha
imaman/ma’muman lillahi ta’aala”. Hukum pelafalan niat ini sunnah. Yang wajib adalah
ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa seseorang akan menunaikan
shalat sunnah Idul Fitri. Sebelumnya shalat dimulai tanpa adzan dan iqamah (karena
tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan menyeru "ash-shalâtu
jâmi‘ah".
2) Takbiratul ihram sebagaimana shalat biasa. Setelah membaca doa iftitah, takbir lagi hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di antara takbir-takbir itu dianjurkan membaca:
Artinya: “Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang.” Atau boleh juga membaca:
Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji
bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah maha besar.”
3) Membaca Surat al-Fatihah. Setelah
melaksanakan rukun ini, dianjurkan membaca Surat al-Ghâsyiyah. Berlanjut ke
ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan seterusnya hingga berdiri lagi seperti
shalat biasa.
4) Dalam posisi berdiri kembali pada
raka’at kedua, takbir lagi sebanyak lima kali seraya mengangkat tangan dan
melafalkan “Allâhu akbar” seperti sebelumnya. Di antara takbirtakbir itu, lafalkan
kembali bacaan sebagaimana dijelaskan pada poin kedua. Berlanjut ke ruku’,
sujud, dan seterusnya hingga salam. Sekali lagi, hokum takbir tambahan ini
sunnah sehingga apabila terjadi kelupaan mengerjakannya, tidak sampai
menggugurkan keabsahan shalat Id.
5) Setelah salam, jamaah tak disarankan
buru-buru pulang, melainkan mendengarkan khutbah Idul Fitri terlebih dahulu
hingga rampung. Kecuali bila shalat Id ditunaikan tidak secara berjama’ah.
Hadits Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah mengungkapkan: “Sunnah seorang Imam
berkhutbah dua kali pada shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan
kedua khutbah dengan duduk.” (HR Asy-Syafi’i) Pada khutbah pertama khatib
disunnahkan memulainya dengan takbir hingga sembilan kali, sedangkan pada khutbah
kedua membukanya dengan takbir tujuh kali.
C. Tradisi NU “Takbiran”
Perayaan hari raya tidak hanya dirayakan pada pagi hari saja, melainkan umat muslim dianjurkan untuk menghidupkannya sejak awal tanggal 1 Syawal. Karena telah sempurna hitungan puasanya sebulan, mereka merayakan dengan mengagungkan Tuhannya dengan cara bertakbir. Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 185 :
“Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Syaikh As Sa’di rahimahullah
memaparkan dalam kitab Taisir Al Karim Ar Rahman bahwa Ketika bulan itu
sempurna, hendaklah bersyukur pada Allah Ta’ala karena taufik dan kemudahan
bagi hamba-Nya. Syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk takbir ketika Ramadhan
itu selesai. Takbir tersebut dimulai ketika melihat hilal Syawal hingga
berakhirnya khutbah Idul Fitri.
Bertakbir dianjurkan mulai awal 1 Syawal.
Bertakbir bisa dilakukan dengan berjamaah atau sendiri di kamar. Sering kita
melihat orang-orang berbondong-bondong membacakan takbir dengan berjalan atau
berkendara. Hal seperti itu biasa dikenal dengan takbir keliling atau dikenal
dengan istilah takbiran. Takbiran disamping sudah menjadi tradisi warga
Nahdlatul Ulama juga merupakan ibadah
dalam rangka membaca takbir yang dilakukan bersama-sama.
Baca Juga : Sistem Organisasi NU Nahdlatul Ulama bag 1 Kelas 7 SMP/MTs
Pada kenyataannya takbir keliling banyak diminati anak jaman now. Dengan ajang seperti ini mereka bisa saling memberikan semangat dalam mengerjakan kebaikan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam hari raya dengan memperbanyak takbir. Umat Muslim membuktikan cintanya pada sang khaliq dengan mengagungkannya sepanjang waktu. Nabi bersabda :
“Hiasilah hari raya kalian dengan
memperbanyak membaca takbir”.
Dalam suatu riwayat disebutkan :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir
sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa
mengagungkan Allah dengan cara bertakbir bisa dilakukan hingga menjelang shalat Idul
Fitri. Dengan begitu, sah-sah saja warga NU ( Nahdliyin ) mengamalkan tradisi
takbiran dari malam hari raya Idul Fitri hingga pagi. Justru merupakan ladang
amal yang mulia.
0 Response to "Materi Aswaja Ke-NU-an SHOLAT HARI RAYA Kelas 7 SMP/MTs"
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak, terima kasih.