Materi Aswaja Ke-NU-an SHOLAT HARI RAYA Kelas 7 SMP/MTs

A. Pengertian, Ketentuan dan Adab Sholat Hari Raya

Materi Aswaja Ke-NU-an SHOLAT HARI RAYA Kelas 7 Semester 2 SMP/MTs

Ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, seluruh umat Islam yang tidak ada uzur dianjurkan untuk keluar rumah, tak terkecuali perempuan haid. Perempuan yang sedang menstruasi memang dilarang untuk shalat tapi ia dianjurkan turut mengambil keberkahan momen tersebut dan merayakan kebaikan bersama kaum muslimin lainnya. Hukum shalat Id sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan). Sejak disyariatkan pada tahun kedua hijriah, Rasulullah tidak meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa dilanjutkan para sahabat beliau. Secara global syarat dan rukun shalat id tidak berbeda dari shalat lima waktu, termasuk soal hal-hal yang membatalkan. Tapi ada beberapa aktivitas teknis yang agak berbeda dari shalat pada umumnya. Aktivitas teknis tersebut berstatus sunnah.

Waktu shalat Idul Fitri dimulai sejak matahari terbit hingga masuk waktu dhuhur. Berbeda dari shalat Idul Adha yang dianjurkan mengawalkan waktu demi memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat yang hendak berkurban selepas rangkaian shalat id, shalat Idul Fitri disunnahkan memperlambatnya. Hal demikian untuk memberi kesempatan mereka yang belum berzakat fitrah.

A.Tempat Shalat Hari Raya

Menurut Nahdlatul Ulama, shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di lapangan, tapi di masjid. Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup. 

“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'I bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat  kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama dari pada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

Baca Juga : Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jumat Kelas 7 Semester 2 SMP/MTs

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jama’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jama’ah.

Fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan. Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk :

  • menampakkan kemenangan kaum muslimin
  • untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan
  • untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya
  • untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT

B. Adab Shalat Hari Raya

1)  Mandi pada Hari Id

Dari Nafi’, beliau mengatakan

Bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya shahih)

Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah Subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.

2)  Berhias dan Memakai Wewangian

Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)

3)  Memakai Pakaian yang Paling Bagus

Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab shahihnya)

4)  Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan Daging Kurban

Dari Buraidah, beliau berkata:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani)

5)  Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan 

Dari sa’d radliallahu ‘anhu,

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah dan dishahihkan alAlbani)

C.Adab Ketika Menuju Masjid/Lapangan

1)  Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma,

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan dan pulang). (HR. Bukhari)

2)  Dianjurkan bagi makmum untuk datang lebih awal. 

Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai.  Karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.

3) Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di masjid/lapangan

Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:

  • Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)
  • Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. alFaryabi Dalam Ahkamul Idain)

4) Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa

Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: “Kami bersama Ibnu Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya: Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa senjata…(HR. Bukhari)

Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq)

D.Adab Wanita Haid saat Hari Raya

Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat menuju masjid/lapangan ketika hari raya dengan memperhatikan adab-adab berikut:

1) Memakai jilbab sempurna (hijab)

Dari Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha…. Saya bertanya: Ya Rasulullah, ada yang tidak memiliki jilbab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2) Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang mengundang perhatian

Dari zaid bin Kholid Al Juhani radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian melarang para wanita untuk ke masjid. Dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tafilaat.” (HR. Ahmad, Abu daud dan dishahihkan al-Albani)

Keterangan: Makna “tafilaat” : tidak memakai winyak wangi dan tidak menampakkan aurat

3) Tidak boleh bercampur dengan laki-laki

Ummu Athiyah mengatakan:

Hendaknya mereka berjalan di belakang laki-laki dan bertakbir bersama mereka. (HR. Muslim)

E. Sunah-sunah Ketika di Masjid/Lapangan

1) Mengeraskan bacaan takbir sampai imam datang (mulai shalat)

Dari Nafi’,

Bahwa Ibnu Umar beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al Faryabi Dan dishahihkan al-Albani)

2) Tidak ada adzan dan iqamat ketika hendak shalat

Dari Jabir bin samurah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

“Saya shalat hari raya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa kali, tidak ada adzan dan qamat.” (HR. Muslim)

3) Tidak ada shalat sunah qabliyah dan ba’diyah di lapangan

Dari Ibn abbas,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan ketika Idul Fitri, kemudian shalat dua rakaat. Tidak shalat sunah sebelum maupun sesudahnya. Dan beliau bersamaBilal.” (HR. Bukhari dan al-baihaqi)

Baca Juga : Materi Aswaja FAHAM KEAGAMAAN NAHDLATUL ULAMA kelas 7 SMP/MTs

Catatan:

1) Dibolehkan untuk melaksanakan shalat sunah setelah tiba di rumah.

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidakmelaksanakan shalat sunah apapun sebelum shalat Id. Setelah pulang ke rumah,beliau shalat dua rakaat. (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Al Albnai)

2) Orang yang shalat Id di masjid, tetap disyariatkan untuk melaksanakan shalat

tahiyatul masjid, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila kalian masuk masjid maka jangan duduk sampai shalat dua rakaat.”

Demikian penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Shalatul idain karya Sa’id alQohthoani)

B. Tata Cara Shalat Hari Raya

Shalat id dilaksanakan dua rakaat secara berjama’ah dan terdapat khutbah setelahnya.  Namun, bila terlambat datang atau mengalami halangan lain, boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) di rumah ketimbang tidak sama sekali.

Berikut tata cara shalat id secara tertib. Penjelasan ini bisa dijumpai antara lain di kitab Fashalatan karya Syekh KHR Asnawi, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama asal Kudus; atau al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î (juz I) karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.

1) Shalat id didahului niat yang jika dilafalkan akan berbunyi “ushallî rak‘ataini sunnata li ‘îdil fithri/adha imaman/ma’muman lillahi ta’aala”. Hukum pelafalan niat ini sunnah. Yang wajib adalah ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa seseorang akan menunaikan shalat sunnah Idul Fitri. Sebelumnya shalat dimulai tanpa adzan dan iqamah (karena tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan menyeru "ash-shalâtu jâmi‘ah".

2) Takbiratul ihram sebagaimana shalat biasa. Setelah membaca doa iftitah, takbir lagi hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di antara takbir-takbir itu dianjurkan membaca:

Artinya: “Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang.” Atau boleh juga membaca:

Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah maha besar.”

3) Membaca Surat al-Fatihah. Setelah melaksanakan rukun ini, dianjurkan membaca Surat al-Ghâsyiyah. Berlanjut ke ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan seterusnya hingga berdiri lagi seperti shalat biasa.

4) Dalam posisi berdiri kembali pada raka’at kedua, takbir lagi sebanyak lima kali seraya mengangkat tangan dan melafalkan “Allâhu akbar” seperti sebelumnya. Di antara takbirtakbir itu, lafalkan kembali bacaan sebagaimana dijelaskan pada poin kedua. Berlanjut ke ruku’, sujud, dan seterusnya hingga salam. Sekali lagi, hokum takbir tambahan ini sunnah sehingga apabila terjadi kelupaan mengerjakannya, tidak sampai menggugurkan keabsahan shalat Id.

5) Setelah salam, jamaah tak disarankan buru-buru pulang, melainkan mendengarkan khutbah Idul Fitri terlebih dahulu hingga rampung. Kecuali bila shalat Id ditunaikan tidak secara berjama’ah. Hadits Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah mengungkapkan: “Sunnah seorang Imam berkhutbah dua kali pada shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk.” (HR Asy-Syafi’i) Pada khutbah pertama khatib disunnahkan memulainya dengan takbir hingga sembilan kali, sedangkan pada khutbah kedua membukanya dengan takbir tujuh kali.

C. Tradisi NU “Takbiran”

Perayaan hari raya tidak hanya dirayakan pada pagi hari saja, melainkan umat muslim  dianjurkan untuk menghidupkannya sejak awal tanggal 1 Syawal. Karena telah sempurna hitungan puasanya sebulan, mereka merayakan dengan mengagungkan Tuhannya dengan cara bertakbir. Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 185 :

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Syaikh As Sa’di rahimahullah memaparkan dalam kitab Taisir Al Karim Ar Rahman bahwa Ketika bulan itu sempurna, hendaklah bersyukur pada Allah Ta’ala karena taufik dan kemudahan bagi hamba-Nya. Syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk takbir ketika Ramadhan itu selesai. Takbir tersebut dimulai ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fitri.

Bertakbir dianjurkan mulai awal 1 Syawal. Bertakbir bisa dilakukan dengan berjamaah atau sendiri di kamar. Sering kita melihat orang-orang berbondong-bondong membacakan takbir dengan berjalan atau berkendara. Hal seperti itu biasa dikenal dengan takbir keliling atau dikenal dengan istilah takbiran. Takbiran disamping sudah menjadi tradisi warga Nahdlatul Ulama juga merupakan  ibadah dalam rangka membaca takbir yang dilakukan bersama-sama.

Baca Juga : Sistem Organisasi NU Nahdlatul Ulama bag 1 Kelas 7 SMP/MTs

Pada kenyataannya takbir keliling banyak diminati anak jaman now. Dengan ajang seperti ini mereka bisa saling memberikan semangat dalam mengerjakan kebaikan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam hari raya dengan memperbanyak takbir. Umat Muslim membuktikan cintanya pada sang khaliq dengan mengagungkannya sepanjang waktu. Nabi bersabda : 

“Hiasilah hari raya kalian dengan memperbanyak membaca takbir”.

Dalam suatu riwayat disebutkan :

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”

Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa mengagungkan Allah dengan cara bertakbir  bisa dilakukan hingga menjelang shalat Idul Fitri. Dengan begitu, sah-sah saja warga NU ( Nahdliyin ) mengamalkan tradisi takbiran dari malam hari raya Idul Fitri hingga pagi. Justru merupakan ladang amal yang mulia.

Related Posts

0 Response to "Materi Aswaja Ke-NU-an SHOLAT HARI RAYA Kelas 7 SMP/MTs"

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bijak, terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel