Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jum'at Kelas 7 SMP/MTs

 

Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jum'at Kelas 7 Semester 2 SMP/MTs

A. Pergertian dan Hukum-Hukum Shalat Jumat

Shalat Jum'at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari Jum'at dua rakaat secara berjama’ah dan dilaksanakan setelah khutbah. Dalil Al-Qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :

 


Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."  

Melaksanakan ibadah shalat Jum'at hukumnya fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu)  bagi laki-laki yang tidak ada udzur syar'i, karena ia sebagai ganti dari shalat Dhuhur. Dan bagi yang sudah shalat Jum'at, tidak perlu melakukan shalat Dhuhur.

1. Siapa yang wajib shalat Jum’at?

Yang wajib melaksanakan shalat Jum'at harus memenuhi kriteria berikut:

  • Laki-laki. Perempuan tidak wajib.
  • Normal. Orang gila tidak wajib.
  • Akil baligh. Anak kecil tidak wajib.
  • Mukim. Orang musafir (sedang dalam perjalanan) tidak wajib shalat Jum’at.
  • Sehat. Orang sakit tidak wajib shalat Jumat.

Orang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at, harus melaksanakan shalat Dhuhur sebagai gantinya, kecuali orang gila. Namun, apabila mereka ikut shalat Jum'at, shalatnya sah sebagai ganti shalat Dhuhur. Dan tidak perlu shalat Dhuhur lagi.

2. Hukum shalat Jum’at bagi wanita

Seperti disinggung di atas, wanita tidak wajib shalat Jum'at tapi boleh mengikuti shalat Jum'at tanpa perlu mengulangi shalat Dhuhur. Bahkan, sebaiknya ikut menghadiri shalat Jum'at (Lihat kitab Bughiyatul Mustarsyidin bab Shalat Jum'at, dan kitab al-Majmuk Syarhul Muhadzdzab). Teks aslinya demikian:

 


Artinya: “Bagi yang tidak wajib shalat Jum'at seperti musafir dan wanita boleh melaksanakan shalat Jum'at sebagai ganti dari shalat Dzuhur. Itu sah bahkan lebih utama. Karena hal itu keutamaan bagi yang memenuhi syarat. Dan tidak boleh mengulangi shalat Dhuhur.”

3. Hukum Makmum yang ketinggalan rakaat shalat Jum’at

  • Bagi makmum yang ketinggalan satu raka’at shalat Jum'at (makmum masbuq), maka dia cukup menambah satu raka'at yang ketinggalan setelah imam mengucapkan salam.
  • Bagi yang ketinggalan dua raka'at dan cuma kebagian sujud atau duduk tahiyat bersama imam, maka harus menyempurnakan empat raka'at seperti layaknya shalat Dhuhur.
  • Bagi yang ketinggalan shalat Jum'at sama sekali, maka harus mengganti dengan shalat Dhuhur (Al Mughni wasy Syarhul Kabir 2/158).

4. Hukum Shalat Jum’at bertepatan dengan Idul Fitri/Idul Adha

Apabila shalat Jum'at bertepatan dengan hari raya lebaran Idul Fitri atau Idul Adha apakah shalat Jum'at tetap wajib dilaksanakan? Jawabnya: Shalat Jum'at tidak wajib dilaksanakan tapi boleh dilakukan. Namun, sunnah bagi imam untuk tetap melaksanakan shalat Jum'at apabila cukup jama’ah untuk melaksanakan shalat Jum'at. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Idul Fitri/Adha dan tidak melaksanakan shalat Jum'at, maka wajib baginya melaksanakan shalat Dzuhur.

Dasar hukumnya adalah Hadits sahih riwayat Imam lima :

Artinya: “Dari Zaid bin Arqam ia berkata: Nabi shalat Hari Raya kemudian member keringanan (rukhsoh) dalam shalat Jum'at dan bersabda: Barangsiapa yang ingin shalat Jum'at, maka shalatlah.”

5. Syarat Sah Melaksanakan Shalat Jum’at

  • Shalat Jum’at diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk shalat Jum’at. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan shalat Jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
  • Minimal jumlah jama’ah peserta salat Jum'at adalah 40 orang.
  • Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat Dhuhur / Zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.

6. Hikmah Shalat Jum'at

  • Simbol persatuan sesama umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
  • Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
  • Menurut hadits, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
  • Sebagai syiar Islam.

7. Sunat-Sunat Shalat Jum’at

  • Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan shalat Jum at.
  • Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
  • Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
  • Menyegerakan datang ke tempat shalat Jum’at.
  • Memperbanyak doa dan shalawat Nabi.
  • Membaca Al-Quran dan zikir sebelum khutbah Jum’at dimulai

 Baca Juga : Faham keagamaan NU kelas 7

B. Tata Cara Shalat Jum’at

Shalat Jum'at diawali dengan khutbah Jum'at yang dapat dilakukan oleh imam shalat  atau oleh orang lain. Khutbah terbagi dua, khutbah pertama dan khutbah kedua yang biasanya dipisah dengan duduk sebentar. Yang prinsip, isi khutbah harus mengandung lima unsure berikut:

  • Membaca hamdalah (yaitu, alhamdulillah) disertai lafadz jalalah (lafadz Allah). Contoh:

 


  • Membaca shalawat. Contoh:

 


  • Berwasiat atau berpesan pada jamaah agar bertakwa. Contoh:

 


  • Membaca ayat Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
  • Berdo'a dengan segala hal yang bersifat ukhrowi (keakhiratan) pada waktu khutbah kedua.

 


1. Bacaan Bilal Shalat Jum’at

Sebelum khatib menaiki mimbar untuk khutbah, acara dimulai dengan majunya Bilal dengan membaca bacaan berikut:

 


Setelah bilal selesai membaca kalimat di atas, khotib berjalan menuju mimbar.  Setelah khatib sampai di mimbar, Bilal kemudian menghadap qiblat dan melanjutkan dengan bacaan doa seperti di bawah ini (posisi khatib tetap berdiri menghadap jama’ah):

 


Setelah Bilal selesai membaca doa di atas, khatib mengucapkan salam dan kemudian duduk di mimbar. Bilal kemudian mengumandangkan adzan. Selesai adzannya Bilal, kemudian khatib berdiri dan memulai khutbahnya.

2. Niat Shalat Jum’at

Selesai khutbah, tiba waktunya shalat Jum'at. Niatnya sebagai berikut:

Niat shalat Jum'at bagi makmum:

 


Niat shalat Jum'at bagi Imam:

 


3. Bacaan wirid dzikir setelah shalat Jum’at

Setelah melaksanakan shalat Jum'at disunnahkan untuk membaca bacaan wirid :

  • Membaca surat Al-Fatihah 7X
  • Membaca surat Al-Ikhlas 7x
  • Membaca surat Al-Falaq 7X
  • Membaca surat An-Nas 7x

 

4. Bacaan dan Do’a setelah Shalat Jum’at

Bacaan doa setelah shalat Jum'at terserah imam shalat. Namun, dianjurkan menambah dengan bacaan doa berikut sebanyak 3x:

 


Setelah membaca do'a, akhiri ritual shalat Jum'at dengan dua bait di bawah ini:

 


Artinya: “Ya Tuhanku, aku bukanlah ahli surga, tapi aku juga tidak kuat berada di neraka. Karena itu, ampuni dosa-dosaku sesungguhnya Engkau maha memaafkan dosa-dosa besar.”

 Baca Juga : Sistem organisasi NU bagian. 1 kelas 7

C. Syarat dan Rukun Khutbah

1. Syarat Khutbah

Khutbah Jumat merupakan salah satu ibadah yang menentukan keabsahan prosesi shalat Jum’at. Karenanya, rukun, syarat dan segala ketentuannya harus terpenuhi agar pelaksanaan shalat Jum’at sah. Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.

Khutbah Jumat memiliki 12 syarat yang harus terpenuhi sebagai berikut:

  • Khatib harus laki-laki. Syarat ini sebagaimana syarat diperdengarkan dan didengar jama’ah serta berbahasa Arab juga berlaku untuk selain khutbah Jumat, seperti khutbah shalat Hari Raya dan shalat Gerhana. Sehingga tidak sah khutbah dilakukan oleh perempuan.
  • Khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jama’ah shalat Jum’at yang mengesahkan shalat Jum’at. Khutbah disyaratkan harus dengan suara yang keras. Sekiranya dapat di dengar oleh jama’ah shalat Jum’at yang mengesahkan pelaksanaan shalat Jum’at, yaitu setiap muslim yang baligh, berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki dan bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin).  Ulama berbeda pendapat mengenai standart memperdengarkan khutbah kepada Jama’ah. Versi Imam Ibnu Hajar harus diperdengarkan secara nyata, sehingga andaikan ada suara-suara yang menghambat pendengaran jama’ah kepada khutbah seperti ramai-ramai, maka tidak cukup, bahkan khatib harus lebih mengeraskan suaranya lagi sampai didengar oleh Jama’ah. Sedangkan menurut Imam al-Ramli, cukup memperdengarkan secara hokum saja, maksudnya khatib cukup membaca khutbah sekira didengar jama’ah, meskipun mereka tidak mendengar karena ada keramaian yang menghambat pendengaran jama’ah, namun andaikan tidak ada penghalang, jama’ah tetap dapat mendengar isi khutbah.  Menurut keduanya, tidak cukup penyampaian khutbah disertai dengan tidur atau tulinya jama’ah. Khatib atau jama’ah tidak disyaratkan faham makna khutbah yang disampaikan, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Nawawi sebagai berikut: “Tidak bermasalah ketidakfahaman kepada makan dua khutbah, sekalipun khatibnya sendiri, sebagaimana orang yang mengimami kaum dan ia tidak faham makna alFatihah.(Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, juz 1, hal.140).
  • Khutbah dibaca di kawasan bangunan rumah penduduk desa. Penyampaian khutbah harus berada di kawasan tempat pelaksanaan shalat Jum’at. Maksudnya, posisi khatib harus berada di titik yang masih tergolong wilayah desa pelaksanaan shalat Jum’at. Meski Jama’ah shalat Jum’at mendengarkan khutbah di luar kawasan shalat Jum’at, khutbah tetap sah, asalkan khatib menyampaikannya di kawasan pelaksanaan shalat Jum;at.
  • Khatib harus suci dari dua hadats.
  • Khatib harus suci dari najis.
  • Khatib harus menutup aurat. Syarat keempat, kelima dan keenam ini ditetapkan karena mempertimbangkan bahwa khutbah Jumat menempati posisi dua rakaat shalat. Sehingga syarat-syarat ini diperlukan sebagaimana menjadi syarat sah pelaksanaan shalat. Maka, tidak sah khutbah dilakukan oleh khatib yang berhadats, terbuka auratnya dan terkena najis pakaian, tempat atau sesuatu yang dibawanya. Khatib yang batal (misalkan kentut) saat menyampaikan khutbahnya, diperbolehkan untuk mengganti dirinya dengan salah satu jama’ah yang hadir. Dan pengganti khatib tersebut boleh meneruskan bacaan khatib yang awal asalkan tidak ada masa pemisah yang lama menurut standar ‘urf (keumuman) antara bacaan khatib pertama dan kedua. Namun jika melewati pemisah yang lama, maka khatib pengganti tersebut harus memulai khutbah dari awal. Namun apabila tidak bermaksud menggantinya dengan khatib lain, maka setelah kembali bersuci, khatib tersebut harus mengulang khutbahnya dari awal, meskipun ia kembali dalam waktu yang singkat. Sebab khutbah merupakan satu bentuk kesatuan ibadah, sehingga tidak dapat dilakukan dengan dua kali bersuci seperti halnya shalat.
  • khutbah harus dilakukan dengan berdiri. Khutbah Jum’at harus dilakukan dengan berdiri bagi orang yang mampu. Tidak sah dilakukan dengan duduk. Bila tidak mampu berdiri, misalkan karena sakit atau faktor usia, maka boleh dilakukan dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, maka boleh dengan cara tidur miring. Bagi khatib yang tidak mampu berdiri, tetap sah bertindak sebagai khatib meski ditemukan orang lain yang mampu melaksanakan khutbah dengan berdiri. Namun yang lebih utama adalah digantikan orang lain yang mampu berdiri.
  • Duduk di antara dua khutbah. Khutbah Jum’at yang dilaksanakan sebanyak dua kali, di antara kedua khutbahnya harus dipisah dengan duduk. Standar minimal duduk di antara dua khutbah adalah kadar minimal thuma’ninah dalam shalat, yaitu diam sekira cukup untuk membaca subhanallah. Bagi khatib yang tidak mampu berdiri, memisah dua khutbah baginya adalah dengan cara diam sejenak melebihi durasi diam untuk mengambil nafas dan tersengal-sengal. Demikian pula bagi khatib yang mampu berdiri, namun tidak mampu duduk untuk memisah di antara dua khutbahnya. Disunnahkan kadar pemisah di antara dua khutbah, sekiranya cukup membaca surat al-Ikhlash. Demikian pula dianjurkan bagi khatib membacanya saat duduk atau berhenti sejenak (bagi yang tidak mampu) untuk memisah dua khutbah jumat.
  • Terus-menerus di antara rukun-rukun khutbah. Rukun-rukun khutbah harus dibaca secara berkesinambungan, tidak boleh ada jeda atau pemisah berupa pembicaraan lain yang menyimpang dari isi khutbah. Tidak termasuk pemisah yang merusak keabsahan khutbah, materi yang masih berkaitan dengan khutbah, meski panjang dan lama, karena hal tersebut tergolong kemashlahatannya khutbah.
  • Terus menerus antara khutbah dan shalat Jum’at Yang dimaksud terus menerus di sini adalah jarak antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh terlalu lama, sekiranya setelah khutbah kedua selesai, takbiratul ihramnya shalat Jum’at dilakukan sebelum melewati masa yang cukup untuk melakukan shalat dua rakaat dengan standar umum yang paling ringan (tidak terlalu panjang dan lama).
  • Khutbah harus berbahasa Arab. Yang dimaksud dengan syarat berbahas Arab di sini adalah hanya rukun-rukun khutbah saja, meliputi bacaan hamdalah, shalawat, pesan bertakwa, bacaan ayat suci al-Quran dan bacaan doa untuk kaum muslimin muslimat. Sedangkan untuk selainnya, diperbolehkan menggunakan bahasa non Arab, seperti yang terlaku di negara kita, penjelasan isi khutbah biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut diperbolehkan dan tidak termasuk memutus kewajiban muwalah (terus menerus) di antara rukun-rukun khutbah.
  • Khutbah dilakukan di waktu Dhuhur. Khutbah harus dilaksanakan di waktu Dhuhur, sebagaimana keberadaan shalat Jum’at sendiri. Karena posisinya khutbah menempati tempatnya dua rakaat shalat.

2. Rukun Khutbah Jum’at

Khutbah Jum’at memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jum’at beserta penjelasannya.

  • Memuji kepada Allah di kedua khutbah Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan “asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”)

  • Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah. Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir. Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.  Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi” (karena menggunakan isim dlamir).


  • Berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah. Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.

  • Membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah. Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur'an yang dapat memberikan pemahaman 

makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya. Seperti contoh:

 


“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).

Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:

 


“Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).

Membaca ayat al-Quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.

  • Berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir. Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jum’at disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma Ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.

0 Response to "Materi Aswaja Ke-NU-an Sholat Jum'at Kelas 7 SMP/MTs"

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bijak, terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel